Desa Kampung Kusamba adalah salah satu Desa yang terletak 7 Km sebelah timur kota Semarapura dan terletak 3 Kilometer dari kota Kecamatan Dawan. Desa Kampung Kusamba hingga abad XVIII lebih dikenal sebagai bandar atau pelabuhan penting Kerajaan Gelgel. Desa yang penuh ilalang (kusa) ini baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan di Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah Istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu. Bahkan I Dewa Agung Putra menjalankan pemerintahan dari istana ini yang kemudian diberi nama puri “Kusanegara”. Lalu Kusamba praktis menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Gelgel.
Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak menimbulkan kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan sekaligus menjadi pintu masuknya saudagar-saudagar luar dari kerajaan-kerajaan lain termasuk saudagar Bugis dan Banjar serta beberapa saudagar daerah lain se-Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan ragam batu nisan yang masih ada di kuburan muslim Kampung Kusamba.
Pada saat terjadi pemberontakan Patih Maruti, Raja Gelgel banyak mendatangkan bala pasukan dari Jawa untuk membantu memadamkan pemberontakan tersebut. Setelah takluknya Patih Maruti maka Raja menempatkan pasukan dari Jawa tersebut yang nota bene beragama Islam di pesisir Kusamba sebagai Benteng Pertahanan untuk menghadapi pasukan yang mengancam kerajaan dari sebelah timur. Sehingga Gelgel sebagai sesuhunan Raja-raja di Bali tetap ajeg.
Nama Kusamba semakin harum ketika terjadi ketegangan politik antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Kerajaan Klungkung dengan Pemerintah Belanda yang ingin menguasai Klungkung pada pertengahan abad Ke-XIX. Sampai akhirnya pecah peristiwa Perang Kusamba yang dimenangkan pihak Kerajaan Klungkung dengan terbunuhnya seorang Jendral Belanda yang bernama Jendral Michels. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari peran serta tentara Islam yang ditempatkan di Kusamba, dimana mereka menjadi pasukan berani matinya Kerajaan Klungkung. Dan pada saat merebut kembali Kusamba tentara tersebutlah yang bertugas sebagai ujung tombak untuk mengacaukan bala pasukan Belanda sehingga Kerajaan Klungkung memperoleh kemenangan.
Maka atas jasa tersebut setelah kemerdekaan mereka (pasukan muslim yang tinggal di pesisir pantai kusamba) diberikan tempat tersendiri dan untuk mengurus komunitasnya sendiri (otonom) di Kusamba, hingga sampai saat ini menjadi sebuah desa otonom yang bernama “Desa Kampung Kusamba”.
Dalam catatan sejarah lainnya disebutkan bahwa Desa Kampung Kusamba, Klungkung memiliki ikatan yang sangat besar atas perkembangan Islam di Tanah Dewata. Bukti sejarah tersebut ditandai adanya makam Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Hamid. Letaknya tepat di pesisir pantai Kusamba, Klungkung. Semasa hidupnya Habib Ali dikenal sangat dekat dengan keluarga Kerajaan Gelgel, Klungkung. Bahkan, ia ditunjuk menduduki jabatan sebagai penerjemah atau ahli bahasa yang bertugas mengajarkan bahasa Melayu kepada Raja yang saat itu dipimpin oleh Raja Dewa Agung Jambe.
Bukti sejarah lainnya terkait keberadaan masyarakat Islam di Kusamba adalah penemuan benda bersejarah yaitu Al-Qur’an tertua di Bali. Al-Qur’an ini diakui telah berusia hampir 400 tahun. Al-Qur’an tersebut ditulis tangan oleh ulama besar asal Bugis. Ternyata, Al-Qur’an tersebut ditulis dan dibuat sebanyak 3 buah dalam kurun waktu yang berbeda oleh ulama yang sama. Sayangnya, siapa pembuat ketiga Al-Qur’an kembar tersebut sampai kini belum diketahui.
Adapun asal usul nama desa itu tidak ada sumber pasti yang dapat menjelaskan, namun berdasarkan hasil penelitian seorang Dosen dari Universitas Udayana Prof. Wirawan, bahwa keberadaan nama Desa Kampung Kusamba tidak terlepas dari kedatangan para saudagar dari Sulawesi maupun Kalimantan. Cerita ini bermula antara seseorang yang bersuku Bugis (Sulawesi) dengan seseorang yang bersuku Banjar (Kalimantan). Pada saat itu tersebutlah seorang yang bersuku Bugis ini melaksanakan Sholat (Sembahyang) menjadi perhatian dari Orang yang bersuku Banjar. Merasa diperhatikan, Saudagar Bugis itu bertanya kepada Saudagar dari Suku Banjar, Agamamu apa?”. Maka dijawab oleh Saudagar Suku Banjar “Agama Saya Islam”. Kemudian baliklah Saudagar Banjar ini bertanya, “Kamu, Agamamu apa?”, maka dijawablah oleh Saudagar Bugis itu “Aku Sama”, maksudnya sama-sama pemeluk Agama Islam.
Dari kata “Aku Sama” lama-lama terjadi asimilasi kata menjadi “kusama” yang lambat laut menjadi “KUSAMBA“. Sedangkan kata KAMPUNG pada masyarakat di Bali merupakan ungkapan untuk menyatakan bahwa Daerah tersebut merupakan kantong-kantong masyarakat Muslim (orang yang beragama Islam). Maka jadilah Desa ini menjadi Desa Kampung Kusamba karena mayoritas masyarakatnya (98,05 %) beragama Islam.
Dalam rentang perjalanan kepemimpinan di Desa Kampung Kusamba, maka dapat disampaikan nama-nama orang yang pernah memimpin Desa Kampung Kusamba yang lazim disebut dengan Perbekel diantaranya: